Kehidupan
sosial masyarakat selalu terikat dengan hukum Islam ber-nash. Sebut saja ibadah
dan muamalah. Alih-alih memahami, masyarakat awam justru kerap salah kaprah
terkait pengamalan keduanya sesuai konteks Al Qur’an dan sunnah.
Contoh
dalam ibadah, sering kita jumpai jama’ah solat Jumat mengisi dan menggeser
‘kotak amal estafet’ saat khutbah berlangsung. Ketika disarankan beralih
memasang ‘kotak amal permanen’, banyak pengurus masjid menolak dengan alas an lebih
efektif. Padahal, sebuah hadits menegaskan,
من
توضأ فأحسن الضوء، ثم أتى الجمعة فاستمع و أنصت، غفر له ما بينه و بين الجمعة و
زيادة ثلاثة أيام، و من مس الحصى فقد لغى
رواه
مسلم
Artinya: "Barangsiapa
berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi shalat Jum'at,
mendengar -khatib- dan berdiam diri -tidak berbicara sama sekali-, maka
diampunkanlah untuknya antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya, dengan
diberi tambahan tiga hari lagi. Barangsiapa yang memegang kerikil -batu kecil-
(untuk dipermain-mainkan sehingga tidak memperhatikan isi khutbah), maka ia
telah melakukan kelalaian."
(HR. Muslim) dalam Kitab Riyadhusshalihin, Bab keutamaan Jum'at.
Karenanya,
jangankan mengisi dan menggeser kotak amal, menggeser sebuah batu kerikil kecil
ataupun berbicara ketika khatib sedang berkhutbah saja sudah menghapus pahala
ibadah solat Jumat.
Masih
terkait solat Jumat, kekeliruan lain yang sudah membudaya diantaranya pemilihan
imam. Potongan hadits menyebutkan, "والإمام يخطب فقد
لغوت". Petik saja sebagian maknanya, “ketika imam berkhutbah”,
memberi pengertian “orang yang bertindak sebagai imam solat Jumat adalah
khatib”. Namun tak jarang masyarakat membagi tugas imam dan khatib pada dua
orang yang berbeda. Sayangnya, mereka cenderung memilih imam berdasar usia,
bukan ilmunya.
Dalam
muamalah pun banyak kekeliruan. Misal, hukum bercadar menurut madzhab Syafi’i
(yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia) adalah wajib. Madzhab Syafi’i
mewajibkan wanita menggunakan cadar sebagai bagian dari tatacara menutup aurat.
Ironisnya, cadar di Indonesia justru dipersepsikan negatif, seperti membelenggu
ruang gerak wanita, tabu, atau malah menutupi kecantikan. Dan sebagai pengganti
kaum wanita mengenakan secarik kain penutup kepala. Yang mana tidak memenuhi
syarat-syarat hijab syar’i.
Beberapa
hal di atas hanya sebagian kecil dari realita kesalahpahaman praktik hukum
Fiqh. Tugas kaum terpelajarlah yang harus membenahi agar paling tidak,
masyarakat mau belajar untuk memahami hukum Islam secara benar. Jika sudah
paham, tentu masyarakat akan mampu mengaplikasikan ajaran Islam dengan kaffah.
Penulis: Ahmad
Syarief Maulana - İlahiyat Kayseri Erciyes University