+90 (507) 626 1394 usrahturkey@gmail.com

Monday, October 20, 2014

Ibadah dan Muamalah yang Salah Kaprah

7:00 AM

Share it Please
Kehidupan sosial masyarakat selalu terikat dengan hukum Islam ber-nash. Sebut saja ibadah dan muamalah. Alih-alih memahami, masyarakat awam justru kerap salah kaprah terkait pengamalan keduanya sesuai konteks Al Qur’an dan sunnah.

Contoh dalam ibadah, sering kita jumpai jama’ah solat Jumat mengisi dan menggeser ‘kotak amal estafet’ saat khutbah berlangsung. Ketika disarankan beralih memasang ‘kotak amal permanen’, banyak pengurus masjid menolak dengan alas an lebih efektif. Padahal, sebuah hadits menegaskan, 

من توضأ فأحسن الضوء، ثم أتى الجمعة فاستمع و أنصت، غفر له ما بينه و بين الجمعة و زيادة ثلاثة أيام، و من مس الحصى فقد لغى
رواه مسلم

Artinya: "Barangsiapa berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi shalat Jum'at, mendengar -khatib- dan berdiam diri -tidak berbicara sama sekali-, maka diampunkanlah untuknya antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya, dengan diberi tambahan tiga hari lagi. Barangsiapa yang memegang kerikil -batu kecil- (untuk dipermain-mainkan sehingga tidak memperhatikan isi khutbah), maka ia telah melakukan kelalaian."
(HR. Muslim) dalam Kitab Riyadhusshalihin, Bab keutamaan Jum'at.

Karenanya, jangankan mengisi dan menggeser kotak amal, menggeser sebuah batu kerikil kecil ataupun berbicara ketika khatib sedang berkhutbah saja sudah menghapus pahala ibadah solat Jumat.

Masih terkait solat Jumat, kekeliruan lain yang sudah membudaya diantaranya pemilihan imam. Potongan hadits menyebutkan, "والإمام يخطب فقد لغوت". Petik saja sebagian maknanya, “ketika imam berkhutbah”, memberi pengertian “orang yang bertindak sebagai imam solat Jumat adalah khatib”. Namun tak jarang masyarakat membagi tugas imam dan khatib pada dua orang yang berbeda. Sayangnya, mereka cenderung memilih imam berdasar usia, bukan ilmunya.

Dalam muamalah pun banyak kekeliruan. Misal, hukum bercadar menurut madzhab Syafi’i (yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia) adalah wajib. Madzhab Syafi’i mewajibkan wanita menggunakan cadar sebagai bagian dari tatacara menutup aurat. Ironisnya, cadar di Indonesia justru dipersepsikan negatif, seperti membelenggu ruang gerak wanita, tabu, atau malah menutupi kecantikan. Dan sebagai pengganti kaum wanita mengenakan secarik kain penutup kepala. Yang mana tidak memenuhi syarat-syarat hijab syar’i.

Beberapa hal di atas hanya sebagian kecil dari realita kesalahpahaman praktik hukum Fiqh. Tugas kaum terpelajarlah yang harus membenahi agar paling tidak, masyarakat mau belajar untuk memahami hukum Islam secara benar. Jika sudah paham, tentu masyarakat akan mampu mengaplikasikan ajaran Islam dengan kaffah.

Penulis: Ahmad Syarief Maulana - İlahiyat Kayseri Erciyes University
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment